CBC UNPAD BAHAS DUA SISI BELGIAN BLUE
Sebuah webinar bertajuk “Kelanjutan Perkembangan Sapi Belgian Blue Sebagai Upaya dari Pemerintah Untuk Mencapai Swasembada Daging Nasional” dihelat oleh Cattle Buffalo Club (CBC), sebuah organisasi kemahasiswaan di Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Webinar tersebut berlangsung pada Sabtu (7/11) yang lalu melalui daring Zoom Meeting.
Tiga orang narasumber hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut. Mereka adalah Yanyan Setiawan dari Balai Embrio Transfer Cipelang, Gungun Gunara mewakili Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak Kementan, dan Nuzul Widyas Akademisi dari Fakultas Pertanian UNS.
Dalam presentasinya Yanyan Setiawan menjabarkan berbagai aspek teknis terkait pemeliharaan, performa reproduksi, serta keunggulan dan potensi dari ras sapi Belgian Blue.
“Sapi ini memiliki Double Muscle (DM) yakni perototan yang sangat berkembang, sehingga dapat menghasilkan karkas yang lebih banyak ketimbang sapi lokal. Nantinya bakalan dari Belgian Blue Cross akan dikembangkan di UPT milik pemerintah dan disebarkan kepada peternak di seluruh nusantara,” tutur Yanyan.
Senada dengan Yanyan, Gungun Gunara juga mengatakan bahwa diharapkan dengan adanya program ini peternak dapat lebih sejahtera dikarenakan sapi – sapi yang dipelihara lebih cepat besar, karkasnya lebih banyak, dan lebih menguntungkan dari segi ekonomi.
Namun begitu, Nuzul Widyas memiliki pandangan lain terhadap program pemerintah tersebut. Menurutnya, dari kacamata akademisi terdapat beberapa kekurangan yang seharusnya lebih dikaji lebih dalam pada program tersebut.
Nuzul menyebutkan bahwa sapi Belgian Blue dapat memiliki Double Muscle dikarenakan faktor mutasi genetik. Jika tidak ditangani secara benar, alel mutan dari sapi tersebut berpotensi merusak populasi sapi potong di tingkat peternakan rakyat.
“Kami tidak menentang fakta bahwa sapi BB memiliki superioritas sebagai sapi pedaging, tetapi kami hanya khawatir terhadap sapi lokal kita. Yang saya omongkan ini bukan omong kosong, saya punya beberapa bukti kuat, mengapa sapi BB dengan mutasi gen DM “kurang cocok” untuk peternak rakyat kita,” tukas Nuzul.
Lebih lanjut Nuzul menuturkan bahwa beberapa negara sudah tidak menggunakan Belgian Blue dalam program pengembagan sapi pedaging di negaranya karena isu Animal Welfare.
 
“Sebut saja USA, negeri Paman Sam mengkalim bahwa sapi ini membutuhkan perawatan yang lebih telaten dari segi teknis ketimbang sapi lainnya. Yang saya tahu, tantangan budidaya di masa kini adalah bagaimana caranya menciptakan bibit yang tahan penyakit dan stress serta lebih mudah dipelihara, kalau Belgian Blue ini kan butuh perhatian lebih (manja),” tukas Nuzul.
Dari segi genetis, Nuzul menyebut bahwa gen mutan yang menyebabkan hipertropi otot pada sapi BB dapat diwariskan pada keturunannya melalui Cross Breed. Gen tersebut memang memiliki keunggulan dalam produksi daging karena menghasilkan otot yang padat, sehingga presentase karkas akan menigkat.
Namun begitu, terdapat kompensasi akibat hipertropi otot berlebih pada mutasi tersebut. Nuzul menyebut bahwa mutasi akan terjadi pada otot di seluruh tubuh. Jika hal tersebut terjadi, akan terjadi dampak fisiologis terhadap sapi, salah satunya performa reproduksi.
“Dari beberapa jurnal penelitian, disebutkan bahwa akibat perototan yang terlalu padat, terjadi penyembitan kanal – kanal seperti saluran reproduksi, pembuluh darah, dan lain – lain. Beberapa jurnal juga menyebutkan bahwa hampir 100% sapi BB dengan mutasi genetik DM kelahirannya harus dibantu oleh dokter hewan melalui operasi cesar karena mengalami distokia,” tutur Nuzul sembari memperlihatkan beberapa jurnal pendukung.
Terakhir Nuzul menyebutkan bahwa dalam mewujudkan swasembada daging sapi, pemerintah seharusnya mengoptimalkan cross breeding antara sapi dari jenis Bos taurus konvensional dengan sapi betina lokal yang berkualitas.
Sebagai panelis atau pembahas Rochadi Tawaf yang juga pakar sosial ekonomi peternakan juga banyak menjabarkan apa – apa saja yang harus dilakukan pemerintah dalam membangun persapian Indonesia.
Poin pertama yang dibahas oleh Rochadi yakni terkait sumber daya genetik dan perbibitan ternak. Mendengar berbagai pembahasan terkait potensi kerusakan genetik pada sapi lokal akibat persilangan sapi BB, Rochadi menilai pemerintah telah melanggar PP No.48/2011 tentang sumber daya genetik dan perbibitan ternak.
“Pada pasal 20 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan budidaya yang berpotensi menguras atau mengancam kepunahan sumber daya genetik hewan asli dan lokal. Jadi pemerintah (Kementan) bisa dituntut dengan pasal ini,” tutur Rochadi.
Dirinya juga mengutip pernyataan mantan Direktur Jenderal Peternakan terdahulu yakni Soehadji, bahwa dalam menentukan suatu kebijakan hendaknya suatu kebijakan harus berbasis akademik.
“Harus feasible (bisa diterapkan di masyarakat), acceptable (dapat diterima masyarakat), dan profitable (menguntungkan masayarakat). Saya tidak melihat ketiganya dalam penentuan kebijakan ini. Jadi sebenarnya pengambilan keputusan dan kebijakan ini bagaimana?,” tutur Rochadi.
Selain itu Rochadi juga mengkritik pemerintah terkait Kepmentan No.616/2020 yang hendak menetapkan sapi BB sebagai rumpun sapi Indonesia. Ia berdiskusi dengan beberapa peneliti di LIPI bahwa setidaknya diperlukan waktu 15-20 tahun dan proses pengembangbiakkan selama 3-5 tahun, untuk mendapatkan hasil cross breed, sapi BB dengan sapi lokal F4 dengan level genetik 90%.
“Kok ini terkesan cepat dan terburu – buru?. Harusnya pemerintah lebih seksama, coba lihat sekarang, mengapa sapi BB hanya mau dikembangkan di Indonesia saja?, Brazil yang penghasil daging terbesar tidak pakai BB, negara – negara di Eropa juga enggak mengembangkan BB, kenapa kita bernafsu sekali mau mengembangkan BB?, sebuah tanda tanya besar itu,” tutur Rochadi.
Sebagai saran kepada pemerintah Rochadi meminta agar pemerintah membentuk breed komposit yang memanfaatkan keunggulan sapi lokal. Dirinya juga menyarankan agar sapi dengan mutasi genetik DM tidak disebar ke peternak.
Kedua, pemerintah harus mengawasi dengan seksasam, apabila nantinya  introduksi sapi DM pada sapi Indonesia berdampak negatif dan mengancam populasi ternak lokal, semua F1 harus disembelih dan tidak boleh bereproduksi di masyarakat, (Dilakukan pemusnahan).
Pemerintah sebaiknya lebih concern mengembangkan rumpun sapi endemik Indonesia yang sudah teruji dan sesuai dengan ekosistem negeri ini. Hanya tinggal mengkaji lebih dalam dan melakukan seleksi yang lebih intensif.
Yang terakhir Rochadi meminta agar pemerintah melakukan kajian akademik secara komperhensif dari aspek teknis, sosial, dan ekonomi dalam program pengembangan sapi BB di Indonesia agar tidak menyesal dan menyalahkan siapa – siapa apabila terjadi kesalahan ditegah berjalannya program tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *