BAHAYANYA PENYALAHGUNAAN ANTIBIOTIK PADA HEWAN TERNAK

Penyalahgunaan antibiotik dan obat antimikroba ternyata memiliki ancaman serius bagi kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan terjadinya resistensi antimikroba.

Saat ini, kurang lebih 700.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit resistensi obat, jumlah korban tersebut diprediksi akan mencapai 10 juta kematian setiap tahunnya sampai dengan tahun 2050, jika tidak ada tindakan serius yang dilakukan.

Untuk memperingati ancaman tersebut, setiap tanggal 18 sampai dengan 24 November, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merayakan “Minggu Kesadaran Antimikroba Dunia”.

WHO mencatat di beberapa negara, 80 persen konsumsi antibiotik yang penting secara medis ada di sektor peternakan. Beberapa laporan memperlihatkan tingginya volume dan penggunaan konsumsi antibiotik yang terlalu sering pada sektor peternakan sehingga menyebabkan munculnya superbug, yaitu bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan tahan terhadap pengobatan antibiotik tradisional.

Hal inilah yang terjadi di industri peternakan, ketika jutaan hewan berdesakan dan seringnya ditempatkan di ruang tertutup. Berdasarkan Program Lingkungan PBB (UNEP) stress yang terjadi akibat dikurung, buruknya kondisi kebersihan, dan kurangnya variasi genetik diantara hewan-hewan tersebut menciptakan kondisi yang sempurna untuk muncul dan menyebarnya penyakit baru.

Dalam kondisi tersebut, hewan-hewan biasanya menerima antibiotik, bukan untuk mengobati penyakit tetapi untuk mencegah penyakit, dan mendorong pertumbuhan yang lebih cepat bagi mereka. Hewan ini dapat menjadi pembawa bakteri “superbug” yang kemudian dapat menginfeksi manusia.

“Sistem pangan di Indonesia sangat tergantung pada produk hewani, dan industri peternakan merupakan salah satu faktor pendorong terpenting dalam resistensi antimikroba,” ujar Fadilah, Communications and Corporate Engagement Manager Indonesia dari NGO Internasional, Sinergia Animal, dalam keterangan yang diterima Bisnis, Selasa (17/11/2020).

Berdasarkan studi yang dilakukan, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah menunjukkan adanya kasus peningkatan resistensi yang signifikan.

Lantas, bagaimana superbug muncul di sekitar kita? Ada beberapa cara penularan superbug ke manusia. Setelah muncul di industri peternakan, mereka dapat mencemari tanah, air, udara, atau makanan kita melalui kotoran hewan dan cairan lainnya.

Superbug dapat melakukan penyebaran melalui udara. Sebuah studi dari University of Lowa menemukan bahwa bakteri yang resistensi terhadap antibiotik, yang disebut MRSA, mengambang di udara dua ratus meter mengikutiarah angin dari peternakan babi di Amerika Serikat.

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh John Hopkins University, bakteri yang resisten terhadap antibiotik ditemukan di udara dalam mobil ilmuwan setelah mereka berkendara di belakang truk yang mengangkut ayam dengan dengan jendela terbuka.

Para pekerja dan masyarakat di sekitar industri peternakan dan di sekitar rumah jagal juga sangat terpengaruh. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Center for Emerging Infectious Disease menemukan bahwa para pekerja di peternakan babi, enam kali lebih rentan untuk membawa bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yaitu multidrug-resistant dan methicillin-resistant (MDRSA).

Hal ini terjadi karena mereka bersentuhan langsung dengan daging, darah, kotoran, air liur, dan cairan tubuh lainnya dari hewan ternak. Penduduk di sekitarnya pun dapat terkontaminasi melalui udara dan air yang berasal langsung dari fasilitas tersebut.

Walaupun Organisasi Kesehatan Dunia telah merekomendasikan pengurangan antimikroba yang penting secara medis pada hewan yang dibesarkan untuk produksi makanan, tetapi situasi ini kemungkinan akan menjadi lebih kritis di negara-negara berpenghasilan rendah, dimana penggunaan antibiotik cenderung meningkat akibat pertumbuhan produksi produk hewani, dengan perkiraan peningkatan 67% pada tahun 2030.

Sebuah riset di tahun 2019, menemukan sumber berkembangnya resistensi antimikroba di beberapa wilayah di negara-negara bagian bumi selatan. Diantara beberapa sumber tempat tersebut ada di Red River delta di Vietnam dan India bagian Selatan, yang juga dekat dengan Indonesia.

Di Indonesia, yaitu Pulau Jawa, pulau dengan populasi tertinggi di negara ini, juga terlihat titik peningkatan resistensi yang signifikan.

“Perubahan kebijakan diperlukan untuk mengatasi ancaman kesehatan masyarakat ini, dan hal inilah yang melatarbelakangi mengapa kami mendesak pemerintah Indonesia untuk melarang penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab dalam industri peternakan,” tuturnya.

Pihaknya lantas menyarankan masyarakat untuk beralih ke pola makan yang berpusat pada sayuran, sebagai cara untuk membatasi permintaan produk hewani yang terus meningkat.

Sumber : https://lifestyle.bisnis.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *