POLEMIK OVERSUPPLY PERUNGGASAN, BEGINI SOLUSINYA

Disampaikan oleh Ketua Pataka, Ali Usman, oversupply pada industri perunggasan Indonesia sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Hal ini tak terlepas dari adanya kebebasan pasar antar negara yang akhirnya berpengaruh pada industri di dalam negeri (persaingan usaha).

Kelebihan produksi yang terjadi tentunya mempengaruhi harga unggas hidup yang kerap naik-turun di tingkat peternakan rakyat (Rp 15.000-19.000), sementara HPP peternak berada diangka Rp 19.000-20.000, sehingga kerugian tak terelakan. Kondisi lain yang turut mempengaruhi adalah lemahnya daya beli masyarakat, konsumsi daging unggas yang masih rendah dan munculnya pandemi COVID-19 yang melanda seluruh negara.

Hal itu juga seperti disampaikan Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof Muladno. Ia menjelaskan bahwa kondisi penurunan harga live bird (LB) telah berlangsung selama dua tahun terakhir dan saat ini diperparah dengan pandemi COVID-19. Kemudian beberapa kondisi seperti harga daging unggas yang tetap tinggi dan penampungan LB ketika oversupply belum cukup memadai.

Ia pun menampilkan data yang dihimpun dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) per 1 Maret 2021, potensi produksi/kebutuhan 2021 sebanyak 3,4 miliar ekor (supply), sementara demand 2,9 miliar ekor dan diperkirakan ada surplus sebanyak 510 juta ekor.

 “Sehingga diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih komprehensif dan bias ke peternak rakyat untuk tegaknya keadilan dalam kegiatan ekonomi,” papar Muladno.

Hal senada juga disampaikan oleh Sahrul Bosang selaku pengamat perunggasan. Ia menyebut, diperlukannya pembangunan cold storage oleh para importir GPS yang dimaksudkan untuk keperluan bufferstock.

“Selain itu bagiamana caranya pemerintah juga bisa memutus rantai broker dan melakukan audit kepada PS farm untuk menekan overstock dan menstabilkan harga LB seperti yang terjadi pada harga karkasnya di pasaran,” ucap dia.

Untuk memperbaiki oversupply yang terjadi, beberapa solusi pun diberikan. Dintaranya oleh Muladno yang berencana membangun sinergi kolaborasi antara pemerintah, koperasi, akademisi dan perusahaan yang terkonsolidasi melalui pendekatan SPR.

“Integrasi horizontal sangat dibutuhkan. Karena filosofi SPR itu semua harus terikat dan saling berkaitan serta berkomitmen. Rencananya SPR pertama untuk komoditas ayam pedaging ini akan dibangun di Bogor, mudah-mudahan ini bisa menjadi role model,” ungkap Muladno yang juga anggota AIPI.

Solusi serupa juga disampaikan oleh praktisi perunggasan, Tri Hardiyanto, yang juga Founder Tri Group. Ia mengemukakan bahwa untuk penguatan peternak mandiri, dibutuhkan dorongan peternak untuk berhimpun membentuk mini integrasi. Maka diantara peternak mandiri kecil, menengah dan besar bisa bergabung dengan kesetaraan (partnership).

Lebih jauh dijelaskan, Tri juga berharap ada kemandirian bibit bagi peternak mandiri. “Usaha peternak mandiri semakin tergerus, perlu adanya kepastian atau kemandirian bibit bagi peternak mandiri dengan mini breeding farm, sehingga kami juga bisa berlayar bersama integrator,” pungkasnya.

Pendapat lain juga hadir dari salah satu pelaku usaha budi daya unggas, Pardjuni. Ia dengan tegas mengatakan untuk memperbaiki kondisi carut-marut perunggasan, budi daya ternak harus dikembalikan seutuhnya ke peternak rakyat.

“Kami sudah dua tahun terakhir ini rugi miliaran rupiah. Solusinya untuk memperbaiki permasalahan ini, budi daya ayam dikembalikan ke peternak rakyat, sudah masalah selesai,” tukasnya.

Talkshow yang dimulai pukul 14:00 WIB ini dihadiri lebih dari 100 orang dari berbagai kalangan bidang perunggasan. Dihadirkan pula narasumber Iqbal Alim dari Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *