Pekerja melakukan pengemasan saat memproduksi vaksin di laboratorium milik PT Bio Farma (Persero), Bandung, Jawa Barat, Selasa (28/8). Bio Farma sebagai produsen dan penyedia vaksin di Indonesia menargetkan vaksin pencegah penyakit Measless dan Rubella (MR) dapat diproduksi pada tahun 2024 mendatang. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj/18.
Sutinah (82) dan anaknya Eko Yuwono (59) baru saja keluar dari sebuah rumah sakit di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Eko membawa sebuah kantong kertas berisi sejumlah obat untuk penyakit Tuberkulosis (TBC) yang diidap ibunya. Di kantong itu tertulis nama dua obat. Kedua obat itu tidak memiliki logo halal di bungkusnya.

Sutinah dan Eko mengaku tidak begitu mempermasalahkan soal sertifikat atau logo halal obat yang dikonsumsi. Yang terpenting, ucap keduanya, adalah keamanan dari obat tersebut. Meski demikian, Sutinah menyatakan alangkah baiknya apabila obat yang dikonsumsinya terdapat logo halal.

“Jadi terjamin halal atau enggaknya,” tuturnya kepada Bisnis, baru-baru ini.


Ilustrasi obat-obatan tablet dan kapsul./REUTERS-Srdjan Zivulovic

Harapan Sutinah senada dengan beleid yang dikeluarkan pemerintah pada 17 Oktober 2014, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Pasal 4 UU tersebut berbunyi “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.

Hal ini juga berlaku untuk produk farmasi dan obat-obatan. Wakil Bendahara Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Vidjongtius mengungkapkan perusahaan farmasi tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti kebijakan kewajiban sertifikasi halal tersebut.

Berdasarkan catatan Bisnis, saat ini, industri farmasi di dalam negeri mencakup 206 perusahaan. Angka itu didominasi oleh 178 perusahaan swasta nasional, 24 perusahaan multinasional, dan 4 Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Tiap perusahaan bisa memproduksi puluhan produk. Dengan banyaknya produk yang ada, GP Farmasi menyatakan perlu waktu untuk menyelesaikan sertifikasi halal.

Mengacu ke data Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), per Oktober 2019, baru 53 perusahaan yang tercatat memperoleh sertifikasi halal. Artinya, baru sekitar 25,7 persen perusahaan yang sudah memiliki sertifikasi halal di Indonesia.

Data Sertifikasi Halal Produk Farmasi

2014-2019

Perusahaan 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650Jumlah 2014 2015 2016 2017 2018 2019TahunSertifikat Halal 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 2014 2015 2016 2017 2018 2019TahunProduk 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 2014 2015 2016 2017 2018 2019Tahun

Menurut Vidjongtius, terdapat sejumlah strategi penyesuaian yang harus dilakukan untuk memenuhi kebijakan ini. Salah satunya terkait dengan bahan baku.

Bisnis mencatat setidaknya 90-95 persen bahan baku produk farmasi masih diimpor. Untuk itu, perlu dilakukan penyesuaian bahan baku. Pasalnya, bahan baku yang diimpor terseut belum tentu terjamin kehalalannya.

Dilansir dari situs LPPOM MUI, ada sejumlah hal yang harus dilewati untuk mendapatkan sertifikat halal.

Pertama, perusahaan harus memahami persyaratan sertifikasi halal yang tercantum dalam HAS 23000. HAS 23000 adalah dokumen yang berisi persyaratan sertifikasi halal LPPOM MUI.

Selain itu, perusahaan juga harus mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang diadakan LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler maupun pelatihan online (e-training).

Kedua, perusahaan harus menerapkan SJH sebelum melakukan pendaftaran sertifikasi halal. Sistem jaminan halal yang dimaksud adalah penetapan kebijakan halal, penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH, pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit, dan kaji ulang manajemen.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek meninjau pabrik Ethica Industri Farmasi di Cikarang, Jawa Barat, Kamis (23/11/2017)./JIBI

Ketiga, perusahaan harus menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk sertifikasi halal. Dokumen yang harus disiapkan adalah daftar produk, daftar bahan dan dokumen bahan, daftar penyembelih (khusus Rumah Potong Hewan/RPH), matriks produk, Manual SJH, diagram alir proses, daftar alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi kebijakan halal, bukti pelatihan internal, dan bukti audit internal.

Keempat, perusahaan melakukan pendaftaran sertifikasi halal yang dilakukan secara online di sistem Certification Online (Cerol) melalui laman www.e-lppommui.org. Perusahaan harus mengunggah data sertifikasi sampai selesai sebelum dapat diproses oleh LPPOM MUI.

Kelima, setelah mengunggah data sertifikasi, perusahaan harus melakukan monitoring praaudit dan pembayaran akad sertifikasi. Monitoring praaudit disarankan dilakukan setiap hari untuk mengetahui ketidaksesuaian pada hasil praaudit.

Kemudian, pembayaran akad sertifikasi dilakukan dengan mengunduh akad di Cerol, membayar biaya akad dan menandatangani akad, untuk kemudian melakukan pembayaran di Cerol dan disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI.

Keenam, audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah lolos praaudit dan akad sudah disetujui. Audit dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan dengan produk yang disertifikasi.

Ketujuh, setelah mengunggah data sertifikasi, perusahaan harus melakukan monitoring pascaaudit. Monitoring pascaaudit ini disarankan dilakukan setiap hari untuk mengetahui kemungkinan ketidaksesuaian pada hasil audit.

Setelah melakukan ketujuh proses itu, perusahaan dapat mengunduh sertifikat halal dalam bentuk softcopy di Cerol. Sertifikat halal yang asli dapat diambil di kantor LPPOM MUI Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat perusahaan.

Adapun sertifikat halal berlaku selama dua tahun.

Unit Research & Development melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan produk baru PT Kimia Farma (Persero) Tbk. yang dilengkapi dengan laboratorium formulasi dan laboratorium analisis, fasilitas ekstraksi dan kebun tanaman obat seluas 5 hektare di Bandung dan 1.060 ha di Cianjur Selatan, Jawa Barat./Istimewa

Tambahan Beban
Vidjongtius tidak menampik akan adanya tambahan biaya untuk pemeriksaan halal dan proses produksi yang terkait dengan bahan baku. Biaya terkait bahan baku masuk dalam beban pokok penjualan suatu perusahaan.

“Sumber bahan baku juga harus yang halal dan saat ini sebagian besar masih impor jadi ada tambahan upaya untuk memastikan sumber bahan baku juga halal, upaya ini juga membutuhkan tambahan biaya,” tuturnya.

Untuk itu, sambung Vidjongtius, perusahaan bakal melakukan sejumlah strategi penyesuaian di antaranya alokasi lini produksi, mengganti sumber bahan baku, hingga reformulasi. Perusahaan pun akan melakukan penghematan biaya lainnya agar tidak memberikan beban kepada konsumen.

Bisnis mencatat setidaknya dua perusahaan farmasi mengalami peningkatan di pos tersebut.

Laporan keuangan semester I/2019 PT Kalbe Farma Tbk, menunjukkan beban pokok penjualan mencapai Rp6 triliun atau 11,41 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya, yang sekitar Rp5,38 triliun.

PT Tempo Scan Pasific Tbk, juga mencatatkan kenaikan sebesar 12,4 persen secara year-on-year (yoy), dari Rp2,96 triliun menjadi Rp3,33 triliun.

Berdasarkan data LPPOM MUI per Oktober 2019, tercatat 43 produk milik TSPC sudah tersertifikasi halal. Sementara itu, KLBF memiliki tiga produk yang sudah bersertifikat halal.

Di sisi lain, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebutkan jumlah peserta program tersebut sudah mencapai 221,2 juta atau 82,87 persen dari total penduduk Indonesia. Adapun jenis obat yang diserap oleh peserta BPJS Kesehatan adalah obat generik atau hasil resep dokter.

Sementara itu, mengacu ke Global Islamic Economy Report 2018-2019, industri farmasi dan kosmetik halal global bernilai US$87 miliar pada 2017 dan diproyeksi tumbuh menjadi US$131 miliar pada 2023.

Beban Pokok Penjualan Emiten Farmasi

2015-2019

PT Kalbe Farma Tbk.PT Tempo Scan Pacific Tbk.PT Phapros Tbk.PT Kimia Farma (Persero) Tbk.
0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000 9.000.000 10.000.000 11.000.000 12.000.000Nilai (dalam juta Rp) 2015 2016 2017 2018 2019Tahun

Kesiapan Lembaga Penjamin Halal
Kepala BPJPH Sukoso mengatakan saat ini, lembaganya mengandalkan infrastruktur LPPOM MUI sambil mendorong penambahan Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan auditor dengan menggandeng kementerian/lembaga, perguruan tinggi, serta yayasan pendidikan Islam.

Dia menyebutkan nantinya, tiap kabupaten/kota akan memiliki tiga LPH. Setiap LPH membutuhkan setidaknya 3 auditor, sehingga secara total diperlukan sekitar 1.542 LPH dan 4.626 auditor untuk 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

“Minimal kami menyiapkan 5.000 auditor halal,” tutur Sukoso.

Dia meyakini jumlah itu bisa terpenuhi karena banyak perguruan tinggi serta yayasan pendidikan Islam yang diajak bekerja sama untuk menyediakan auditor.

Sejauh ini, BPJPH sudah bekerja sama dengan 71 pihak termasuk BUMN, seperti PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia. Terbaru, lembaga tersebut bermitra dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Per September 2019, BPJPH telah memberikan pembekalan kepada 172 calon auditor halal. Bulan ini, rencananya bakal diundang sekitar 60 calon auditor lagi.

Dengan berbagai strategi dan persiapan tersebut, proses sertifikasi halal untuk industri farmasi dan obat pun diharapkan berjalan lancar.

Narasumber : ekonomi.bisnis.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *