Keberhasilan budidaya udang tidak dapat dilepaskan dari mata rantai industri perudangan, salah satunya adalah daya dukung industri perbenihan udang. Oleh karena itu, untuk menghasilkan industri budidaya udang yang sehat dan maju, diperlukan dukungan pasokan benih dari hatchery yang handal dan berkelanjutan.
Keberhasilan budidaya udang tidak dapat dilepaskan dari mata rantai industri perudangan, salah satunya adalah daya dukung industri perbenihan udang. Oleh karena itu, untuk menghasilkan industri budidaya udang yang sehat dan maju, diperlukan dukungan pasokan benih dari hatchery yang handal dan berkelanjutan.

Bisnis udang dalam negeri, terutama udang jenis vaname, semakin menggeliat. Tak mengherankan, komoditas tambak ini merupakan salah satu produk dengan pangsa pasar tidak hanya domestik, akan tetapi luar negeri. Dengan demikian, bisnis untuk meraup devisa asing dalam bentuk dollar AS semakin terbuka lebar.

Wajar saja, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP), membidik peningkatan produksi yang signifikan komoditas ini. Pasalnya, udang merupakan salah satu komoditas andalan penghasil devisa yang dapat diandalkan. Tidak tanggung-tanggung, KKP mematok target peningkatan produksi hingga 250% di tahun 2024. Cukup menantang!

Dengan semakin berkembangnya bisnis budidaya udang, hal ini memicu efek domino terhadap industri-industri ikutan lainnya yang menjadi pendukung. Salah satu industri yang menjadi pendukung budidaya udang adalah industri yang memasok benih (benur) untuk budidaya (tahap pembesaran). Dengan target budidaya udang semakin meningkat, permintaan terhadap benih pun naik secara signifikan. Tentu saja, ini menjadi peluang bisnis bagi para pelaku industri mengingat keberadaan bisnis-bisnis hatchery masih dikatakan kurang.

Menurut Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Lampung, Supono, Keberadaan hatchery tergantung dari kondisi tambak udang yang beroperasi serta produksi yang dihasilkan. Kasus merebaknya penyakit mempengaruhi tambak yang beroperasi yang berimbas pula pada permintaan benur.  Hatchery yang mampu bertahan adalah yang mampu menghasilkan benih yang berkualitas dengan harga yang bersaing.

“Peluang hatchery ke depannya sangat menjanjikan karena permintaan benur meningkat sejalan dengan pembukaan lahan baru dan peningkatan target produksi udang oleh pemerintah.  Teknologi pembenihan yang sudah dikuasai serta kemudahan memperoleh induk yang berkualitas specific free pathogen (SPF) menjadi kekuatan yang dimiliki untuk menangkap peluang dari peningkatan permintaan benur oleh petambak,” tambah Supono.

Lanjutnya, Induk udang vaname yang berkualitas saat ini masih impor, misalnya dari Kona Bay. Hatchery yang sudah besar, dilengkapi dengan uji kualitas benur terutama yang berkaitan dengan penyakit seperti: WSSV, IMNV, TSV, dll, sehingga benur yang dihasilkan bebas dari penyakit tersebut (specific pathogen free/SPF).  Namun untuk hatchery skala kecil/rumah tangga, jaminan bebas penyakit tidak ada sehingga petambak harus waspada dalam menentukan hatchery ketika membeli benur.

Peran Penting Hatchery dalam Industri Budidaya Udang

Menurut pengakuan Sudiarnoto Soegito, Divisi Akuakultur PT. Golden Westindo Artajaya, keberhasilan Budidaya khususnya Udang tidak dapat dilepaskan dari lima aspek sebagai berikut, yaitu pemilihan lokasi usaha budidaya, kualitas pakan, kualitas benih atau benur dari hatchery (SPF/SPR), manajemen budidaya (program pemberian pakan, kualitas air, dan sebagainya).

Menurutnya, kelima aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena memiliki keterkaitan yang sangat erat. Sudiarnoto menambahkan, “di samping keempat aspek tersebut di atas, ada satu hal lagi yang menentukan keberhasilan budidaya udang, yaitu dan selanjutnya adalah kepasrahan kepada Tuhan Pemilik Alam Semesta, yaitu doa. Salah satu saja diabaikan maka hasilnya akan kurang maksimal atau mungkin mengakibatkan usaha budidaya gagal total,” tuturnya.

Disinilah peran hatchery sangat penting untuk mendukung budidaya dengan menghasilkan benur yang berkualitas tinggi sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Sehingga keberadaannya sangat diperlukan sepanjang proses budidaya itu masih berlangsung. Hal ini karena saat ini, tidak mungkin usaha budidaya mengandalkan tangkapan alam.

Di pihak lain, Agus Saiful Huda, Petambak di Jawa Timur, berpendapat serupa terkait peran industri hatchery dalam budidaya udang secara keseluruhan. Menurutnya, keberhasilan petambak sangat tergantung dan atau dipengaruhi oleh industri perudangan dari hulu ke hilir, salah satunya adalah industri hatchery. Hal ini mengingat pakan dan teknologi budidaya di Indonesia sudah bagus.

Benur bagi petambak adalah raw material/bahan baku utama disamping media air. Hatchery adalah salah satu mata rantai yang terpenting dalam bisnis akuakultur, disamping grow out (petambak), pakan & nutrisi, equipment & teknologi dan processing (cold storage).

Ia melanjutkan, merujuk pada teori the Weakest Link (Wallodi Weibull,1887) yang mengungkapkan, kekuatan suatu rantai terletak pada mata rantai yang paling lemah. Ibaratnya, bendungan yang paling kokoh pun akan hancur bila ada satu titik pada bangunan itu yang bocor. Demikian juga halnya dengan bisnis akuakultur, bila hatchery tidak menghasilkann kualitas benur yang baik, bisnis akuakultur akan hancur. Oleh karena itu, saling menguatkan antara rangkaian bisnis akuakultur adalah suatu keharusan.

Induk, Salah Satu Kunci Keberhasilan Industri Hatchery

Masih menurut Sudiarnoto, industri hatchery memiliki peluang yang sangat besar, sepanjang budidaya terus berkembang. Namun peluang itu tidak lepas dari tantangan, misalnya tingkat persaingan semakin ketat karena itu diperlukan produktivitas tinggi dan efisiensi dari pengelolaan hatchery dengan tetap mengacu pada standar mutu benih/benur yang dihasilkan dengan menerapkan CPIB (Cara Pembenihan Ikan/Udang yang Baik).

Sayangnya, harga Induk yang tersedia tidaklah murah mengingat harus Impor dengan menggunakan dollar AS. Sementara itu, induk udang sangat tergantung pakan segar dan hidup, misalnya saja cumi dan cacing laut atau Polychaeta untuk menjamin produktivitas tetap terjaga dan kualitas nauplinya bagus. Semua pakan ini mengandalkan tangkapan alam, jika pengelolaan pakan di hatchery tidak baik, maka pakan hidup ini bisa menjadi sumber kontaminasi dan merusak kaidah biosecuriti. Meskipun demikian, para teknisi sudah sangat paham bagaimana mengatasinya.

Jarak Tempuh, Tantangan Industri Hatchery

Tantangan berikutnya, terkait dengan industri hatchery adalah terkait dengan lokasi dan aksesibilitas. Menurut Soediarnoto, lokasi hatchery terpusat pada lokasi-lokasi tertentu saja. Sehingga, hal ini terkadang industri ini mengalami kesulitan dalam aspek distribusi dan transportasi benih menuju lokasi-lokasi budidaya. Alternatif lain, jalur distribusi dapat dilakukan melalui udara, akan tetapi, biaya menjadi membengkak.

Faktor berikutnya, karena terkosentrasi di area tertentu, sehingga jika terjadi outbreak penyakit, perairan tersebut mudah terkontaminasi. Sehingga dapat melumpuhkan industri ini di daerah berdekatan secara menyeluruh.

“Fakta lain di lapangan, tantangan hatchery adalah sering mengalami bad debt bahkan bahkan dead debt sehingga sangat mengganggu cash flow kelancaran operasional,” imbuh Soediarnoto.

Senada dengan Soediarnoto, Elmas Handy Prabowo, Direktur PT Delta Agro, berpendapat serupa. Menurutnya, sangat banyak kebutuhan petambak secara nasional yang tidak mungkin dipenuhi oleh hanya beberapa hatchery besar.\

“Mendapatkan benur berkualitas secara kontinu menjadi tantangan terbesar dalam dunia hatchery serta wilayah kepulauan yang membuat biaya pengiriman cargo antar pulau terlalu tinggi. Jadi yang terpenting menurutnya adalah adalah konsistensi kualitas benur, yang saat ini masih naik turun,” tambah Handy.

Benur Bersertifikat, Wajib!

Untuk menjamin keberhasilan budidaya, benur memegang peranan yang sangat penting dalam mencegah terjangkitnya tambak dari serangan penyakit. Salah satunya adalah jaminan bahwa benur tersebut bebas dari patogen sehingga tidak mengandung penyakit bawaan.

Untuk itu, disinilah pentingnya benur memiliki sertifikat mengenai riwayat biologisnya. Terkait dengan aspek sertifikasi, Sudiarnoto menekankan pentingnya benur bersertifikat. Menurutnya, benur yang bagus harus jelas historisnya sehingga bisa disertifikasi. Peran pemerintah sangat penting dalam hal ini sebagai pengatur kebijakan. Salah satu historisnya adalah dari mana sumber induknya. Banyak hatchery yang tidak mempunyai induk membeli naupli dari hatchery lain yang mempunya induk dan jual Naupli. Menurutnya, hal tersebut tidak masalah selama jelas terjamin asal sumber induknya.

Kondisi Industri Hatchery dalam Negeri

Sudiarnoto melanjutkan, sejauh Ini Induk yang baik bersumber dari AS (Hawai atau Florida). Sayangnya, induk vaname Nusantara belum bisa berperan di dalam negeri. Benur Free Pathogen (SPF dan SPR) dengan standar pemerikasaan/SOP dan peralatan yang baik tentu bisa diandalkan hasilnya. Karena itu benur harus di periksa di laboratiorium yang sudah terakreditasi pemerintah sehingga sertifikat hasilnya dapat diandalkan.

Namun harus diyakini bahwa benur yang sudah bersertifikat SPF/SPR terpercaya bukanlah satu-satunya yang menjamin keberhasilan budidaya. “Kesalahan besar para teknisi adalah menganggap kualitas benur adalah segalanya semacam ‘key to success’ budidaya udang. Padahal, itu hanya part of the success saja,” ungkapnya.

Agus, menambahkan terkait dengan kondisi industri hatchery dalam negeri. Menurutnya, tantangan hatchery sekarang adalah terkait dengan ketergantungan yang kuat dengan pasokan broodstock impor.

“Titik yang paling lemah manakala kita tergantung dengan broodstock impor adalah bila terjadi faktor-faktor geopolitik global dan atau isu-isu yang berhubungan dengan penyakit,” ujarnya.

Selanjutnya, kedua penggunaann “live feed”. Penggunaan pakan hidup yang umum untuk indukan udang adalah cacing laut jenis polychaeta sebagai komponen diet maturasi induk. Meskipun demikian, komponen ini perlu diwaspadai. Pasalanya, berdasarkan penelitian Vijayan et al (2005), bertajuk Polychaete worms:- a vector for white spot syndrome virus (WSSV), cacing Polychaeta sebagai vektor WSSV.

Maka hal penting yang harus dilakukan adalah penyaringan (screening) cacing polychaeta untuk WSSV sebelum digunakan untuk pakan induk. Berikutnya, adalah ketergantungan industri hatchery dalam negeri terhadap kualitas dan kuantitas algae. Ketergantungan algae terutama pada stadia zoea yang hingga saat ini belum tergantikan dengan pakan buatan. Selanjutnya, adalah berbagai masalah seperti zoea syndrom, Vibriosis, luminiscent bacteria. Dengan demikian, konsep biosekuriti menjadi hal yang sangat mutlak dalam industri hatchery.

Masih menurut Agus, dengan dipatoknya target KKP untuk menggenjot kenaikan produksi budidaya sebesar 250%, peluang bagi hatchery semakin terbuka lebar. Industri ini dituntut untuk lebih dapat meningkatkan kapasitas produksi dengan kualitas yang prima. Pasalnya, para petambak berharap bahwa hatchery dapat menghasilkan benur dengan tingkat kelulushidupan (survival rate) yang tinggi, mempunyai  pertumbuhan yang cepat, sehat, dan bebas dari penyakit, baik virus maupun bakteri dan parasit.

Sehingga, ada potensi yang besar untuk  pengembangan dan perbaikan genetic udang putih lokal seperti Penaeus merquensis, Penaeus indicus dan Peenaeus monodon untuk mengurangi ketergantungan impor broodstock.

Menurutnya, udang vaname diintroduksi di Indonesia sejak tahun 2001. Sehingga, hingga saat ini, hampir dua dasawarsa udang tersebut dibudidayakan di Indonesia. Dengan rentang waktu yang cukup lama tersebut, ia berpendapat, sudah tentu para pelaku/pengusaha hatchery sudah memahami seluk beluk broodstock sehingga pengusaha hatchery. Dengan demikian, mereka sudah mempunyai standar yang tinggi untuk broodstock.

“Hanya saja, persoalan yang mengiringinya adalah sistem dan manajemen di hatchery untuk diselesaikan, di antaranya adalah ketergantungan pada pakan hidup, algae dan biosekuriti,” Agus. (Noerhidajat/Resti/Adit)

Narasumber : https://infoakuakultur.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *