Kebijakan larangan penangkapan benih lobster atau benur muncul dalam uji publik yang dilakukan Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan, KP2 KKP.

Sucipto, nelayan tradisional asal Banyuwangi, mengaku penerapan permen larangan menangkap lobster berdampak buruk bagi kesejahteraan nelayan.

“Sejak adanya larangan menangkap benih lobster, sangat menyengsarakan nelayan. Ada 1.000 lebih nelayan tradisional di Bayuwangi yang kehilangan mata pencarian,” keluhnya di Kantor KKP, Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2020).

Setelah tak lagi menangkap benih lobster Sucipto beralih menjadi nelayan andon. Dia mencari ikan sampai perairan Malang hingga Bali. “Hasil tangkapnya gimana? Ikan itu musiman Pak, Sekali musim ikannya sama semua di Pulau Jawa, jadi harga pun turun,” tambahnya.

Soal asumsi lobster akan punah, dia menuturkan benur jika dibiarkan di alam justru potensi hidupnya sangat kecil. Benih lobster termasuk makanan favorit bagi predator. “Kalau misalnya benih lobster itu kuat hidup di alam, laut itu isinya lobster semua. Kapal pun tidak bisa lewat. Tapi kan faktanya enggak gitu,” ujarnya.

Untung, nelayan tradisional asal Tulungagung, Jawa Timur menuturkan larangan penangkapan benih lobster tidak hanya membuat penghasilannya menurun dratis, tapi juga jadi objek pungli oknum tertentu. “Teman saya ditangkap, Pak. Fair saja, dia diminta bayar Rp200 juta kalau mau bebas. Coba bayangkan kalau Rp200 juta itu dipakai untuk biaya sekolah anak-anak nelayan,” bebernya.

Untung berharap KKP segera mencabut aturan larangan menangkap benih lobster, karena ini akan berbanding lurus dengan pendapatan nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari sektor itu.

Berdasarkan data di KKP, jumlah benur di Indonesia sekitar 12,35 miliar benih per tahun. Wakil ketua Bidang Riset dan Pengembangan KP2 KKP, Bayu Priambodo mengaku potensi hidup benih lobster di alam memang sangat kecil, yakni 1:10.000. Artinya, dari 10.000 benih yang punya potensi hidup hingga besar adalah satu ekor saja.

“Begitu induk-induk lobster menetaskan telur di laut, dia dititipkan pada mekanisme alam, mekanisme arus, dan mekanisme alam regional,” jelasnya.

Sehingga, menurut peneliti lobster ini, bila benih-benih tersebut tidak dimanfaatkan menjadi nilai ekonomis, akan mati sia-sia. Cara memanfaatkan paling efektif adalah dengan membudidayakan (pembesaran) lobster.

Menurutnya, pelarangan sebaiknya hanya untuk lobster bertelur. “Prinsip utamanya jangan ganggu indukan yang ada telurnya. Kalau ambil induk, itu mempercepat kepunahan,” tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Penasihat Menteri, Rokhmin Dahuri mengaku ada empat langkah KKP dalam menangani persoalan benih lobster. Pertama akan membudidayakan (pembesaran) lobster, pengembangbiakan benih (hatchery), restocking, dan ekspor dalam jumlah sangat terbatas dan terkendali.

“Karena kalau ekspor langsung dimatikan, justru yang akan terjadi adalah black market dan yang kaya oknum-oknum saja,” sebutnya.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menegaskan bahwa kebijakan KKP seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang akan diterbitkan harus berdasarkan kajian ilmiah.

Sebelum diluncurkan ke publik, draft kebijakan nantinya akan diserahkan ke Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Presiden terlebih lebih dulu. “Jadi intinya, semua yang kami keluarkan harus berdasakan hasil riset dan kajian, bukan kepentingan satu dua orang saja,” tukasnya.

Narasumber : https://ekonomi.bisnis.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *