Daging
ayam ras dan telur ayam ras termasuk
volatile
food
. Di pasar, harga bahan pangan ini fluktuatif. Dalam waktu singkat, bisa
menaik dan menukik. Dinamika naik-turunnya bukan dalam hitungan minggu, bisa
harian, bahkan hitungan jam. Pagi harganya masih baik, sorenya bisa saja tertukik.

Begitu
pula sebaliknya. Pada momen-momen tertentu, menjelang Lebaran misalnya. Harga
yang tadinya rendah atau wajar-wajar saja, bisa melonjak naik. Kenaikan harga
yang fantastis itu membuat napas konsumen seolah-olah tercekik. Dan menjadikan
banyak pihak terjangkiti penyakit panik.
Dalam
konferensi pers di kantornya, Senin (4/6), Suhariyanto, Kepala Badan Pusat
Statistik (BPS), mengingatkan pemerintah agar mewaspadai kenaikan harga daging
ayam dan telur ayam menjelang Idul Fitri tahun ini. Menurut pantauan BPS,
komoditas yang harganya naik signifikan sehingga memberikan kontribusi inflasi
tinggi adalah daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar dan bawang merah.
Merujuk
pada data inflasi Mei 2018 sebesar 0,21%, kenaikan harga daging ayam memberikan
andil 0,07% terhadap besaran inflasi bulan tersebut. Sedangkan naiknya harga
telur ayam berkontribusi 0,06%. Andil kenaikan harga ikan segar dan bawang
merah pada inflasi Mei itu masing-masing 0,03% dan 0,02%.
Pergerakan
harga daging ayam ras dan telur ayam ras di pasar, memang perlu diantisipasi.
Seperti halnya Lebaran tahun-tahun sebelumnya, demand terhadap kedua komoditas tersebut biasanya akan terus
meningkat hingga Idul Fitri tiba. Ujung-ujungnya, jumlah duit yang di keluarkan
untuk membeli kedua komoditas kaya zat gizi ini bertambah banyak. Akibat dari
harga yang melonjak naik.
Kenaikan harga bahan pangan pokok dan penting
menjelang Idul Fitri, biasanya memang menimbulkan nuansa panik. Kepanikan
musiman. Padahal, pola dan trend-nya
selalu berulang dan sama. Namun, respon terhadap kejadian itu yang beraneka
ragamnya. Bahkan, tak jarang timbul silang pendapat.
Menurut
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), salah satu penyebab naiknya harga
beberapa komoditas pangan itu adalah lambannya pemerintah dalam merespon
peningkatan permintaan pasar. Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menyatakan,
kenaikan beberapa komoditas pangan bukan karena praktik persaingan tidak sehat,
tapi kekurangan suplai.
Kenaikan
harga tersebut lebih disebabkan lambannya respon pemerintah dan suplai dari
produsen dalam menanggapi kenaikan permintaan konsumen menghadapi Ramadan dan
Lebaran, ungkap Komisioner KPPU itu di kantornya yang berlokasi di jalan Ir.
Juanda, Jakarta.
Saat
dilakukan penelusuran lapangan, beberapa penjual daging ayam ras di pasar-pasar
sejumlah kota besar menyampaikan keluhan. Pasokan daging ayam ras tidak
optimal, pasokannya menurun. Tentu saja, berimbas pada meningkatnya harga.
Ketika
dikejar dengan pertanyaan kenapa demikian. Para penjual daging ayam ras itu
menjawab, tidak tahu persis mengapa pasokan daging ayam ras berkurang. Pengepul
yang memasok komoditas daging ayam ras juga tidak memberikan penjelasan.
Menyikapi
dan menyiasati naiknya harga daging ayam ras, Kementerian Perdagangan akan
menggelontorkan daging ayam ras beku. Caranya dengan melakukan Operasi Pasar
(OP) di daerah-daerah. Keputusan itu disampaikan oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto
Lukita. Mendag RI menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi Kesiapan dan
Pengamanan Hari Raya di Mabes Polri, Selasa (5/6).
Menindaklanjuti
keputusan tersebut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi
Jawa Timur, melakukan OP daging ayam ras. Pelaksanaannya selama seminggu (5-12
Juni) di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Bangkalan. Selain itu, Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur juga mengadakan pasar murah produk peternakan 5-6
Juni di Surabaya.
OP
merupakan katub pengaman instan guna menetralisir peningkatan harga daging ayam
ras di pasar. Untuk jangka menengah dan panjang, harus dilakukan perbaikan pola
distribusi (pemerataan dan peningkatan konsumsi). Juga wajib dilaksanakan
pembenahan manajemen stok (kuantitas dan kualitas produksi). Ketiga program
tersebut harus dirancang secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan.
Namun
sayangnya, berdasarkan pengamatan dan pengalaman, program yang selalu
dilaksanakan adalah OP. Menjelang Ramadan dan Lebaran (juga hari-hari besar
Keagamaan lainnya). Dari tahun ke tahun yang dilakukan OP, OP dan OP lagi.
Padahal pelaksanaan OP ibaratnya tindakan pemadam kebakaran.
Memang
terlihat ada efek serta hasilnya, dan itu tercatat sebagai suatu prestasi dalam
rangka menstabilkan harga bahan pangan pokok dan penting. Namun, sadarkah bahwa
hal itu merupakan prestasi sesaat. Prestasi yang bukan sebagai solusi guna mengatasi
akar permasalahannya.
Sudah
saatnya bagi segenap pemangku kepentingan (khususnya bidang perunggasan) untuk
merapatkan barisan dan bersatu-padu. Mari duduk bersama guna menyusun konsep
dan strategi program penstabilan harga produk perunggasan. Tentu saja konsep/program
yang komprehensif dan berjangka panjang, bukan yang sesaat dan singkat.
Bila
tidak memiliki konsep/program penstabilan harga yang komprehensif dan berjangka
panjang, maka tahun depan dan ke depannya kita akan terkejut dan terheran-heran
kembali. Kepanikan, kehebohan dan kegaduhan akibat fluktuasi harga berjangkit
lagi. Harga menaik salah, menukik pun salah.
Dewan Pakar Asosiasi Dokter
Hewan Perunggasan Indonesia,

Refleksi Majalah Infovet Edisi Juli 2018

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *