Pemerintah berencana membuka keran impor daging sapi dan sejenisnya untuk perusahaan swasta dari negara selain Australia dan Selandia Baru.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan langkah itu dilakukan untuk menumbuhkan iklim berusaha dan berivestasi di Indonesia. Menurutnya, selama ini ketentuan yang mewajibkan impor daging sapi dari luar Australia dan Selandia Baru, hanya diperbolehkan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Kebijakan pembatasan ketentuan importasi daging itu cukup mengganggu arus perdagangan bilateral dan investasi asing masuk ke Indonesia. Kami dari Kemendag sudah usulkan ke Sekretariat Kabinet dan Kemenko Perekonomian agar ketentuan itu direvisi,” ujarnya kepada Bisnis.com, akhir pekan lalu.

Dia mengatakan, Kemendag mengusulkan kebijakan tersebut masuk dalam kebijakan omnibus law yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat dalam waktu dekat.

Adapun ketentuan mengenai pembatasan importasi daging sapi dan sejenisnya di luar Australia dan Selandia Baru didasarkan pada Peraturan Pemerintah No.6/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal Dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.

Di beleid tersebut, importasi daging sapi dan sejenisnya diperbolehkan berasal dari negara yang masuk dalam kategori zona (zone based) bebas penyakit mulut dan kuku. Kendati demikian, importasi tersebut hanya boleh dilakukan oleh BUMN atau BUMD atas persetujuan pemerintah.

Importasi daging sapi dan sejenisnya oleh pihak swasta hanya diperbolehkan dilakukan dari negara yang telah bebas penyakit mulut dan kuku. Dalam hal ini, baru Australia dan Selandia Baru yang memenuhi kategori tersebut.

“Pertanyaannya, ketika impor di negara berkategori zone based hanya boleh dilakukan oleh BUMN, appakah BUMN bisa menjamin barangnya bisa bebas dari penyakit atau kuman? Emang BUMN punya clearing house?” ujar Menteri Enggartiasto.

Menanggapi hal tersebut Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia Sarman Simanjorang mengaku mendukung rencana kebijakan tersebut. Hal itu menurutnya akan mengurangi praktik monopoli importasi daging oleh pemerintah.

“Kami sudah sejak lama meminta, berikan kesempatan yang sama untuk impor di negara berkategori zone based kepada swasta. Dengan demikian kami bisa menjamin harga daging sapi di masyarakat akan lebih murah. Kami juga bisa jamin produk yang kami impor bebas penyakit mulut dan kuku,” katanya.

Dia mengatakan selama ini para importir swasta sangat bergantung pada pasokan daging sapi dari Australia dan Selandia Baru. Hal itu menurutnya, membuat produsen daging sapi dari kedua negara tersebut acap kali memainkan harga komoditas tersebut.

Sarman melanjutkan, dengan adanya pilihan negara asal impor daging sapi dan sejenisnya selain dari kedua negara tersebut, importir dapat lebih mudah memilih pemasok yang menawarkan harga lebih murah. Kondisi itu akan membuat harga jual di dalam negeri menjadi lebih terjangkau bagi konsumen.

“Di sisi lain, memang benar ketentuan impor sapi di luar Selandia Baru dan Australia cukup menganggu minat investasi di sektor makanan kita. Sebab, perusahaan tidak bisa leluasa memilih daging sapi sesuai spesifikasi yang mereka inginkan, yang selama ini sulit dipenuhi dari Australia dan Selandia Baru,” katanya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Makanan Olahan dan Industri Peternakan Juan Permata Adoe mengatakan rencana kebijakan pemerintah tersebut, akan menjadi solusi masih mahalnya harga komoditas tersebut di Indonesia. Pasalnya, importir swasta tidak lagi hanya bergantung pada pasokan dari Selandia Baru dan Australia.

“Kalau pun pemerintah tetap menerapkan kuota untuk impor daging sapi atau kerbau di luar Selandia Baru dan Australia, importir swasta juga siap mematuhinya. Namun, pemerintah juga harus memilih importir swasta mana saja yang kompeten melakukan importasi, jangan perusahaan abal-abal yang diberikan izin,” ujarnya.

Terpisah, Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengaku memahami rencana pemerintah membuka ruang bagi swasta untuk impor daging sapi dan sejenisnya dari negara berbasis zona bebas penyakit mulut dan kuku. Sebab, menurutnya hal tersebut perlu dilakukan untuk mewujudkan sistem persaingan pasar yang adil di dalam importasi produk tersebut.

Namun demikian, dia mengharapkan pemerintah tetap menjaga minat berternak dari peternak sapi dalam negeri. Di sisi lain, dia juga meminta pemerintah menjaga komitmen importir swasta untuk menjaga aspek kesehatan produk yang diimpornya dari negara berbasis zona bebas penyakit mulut dan kuku.

“Pemerintah harus menjaga harga daging sapi di pasar saat ini tidak turun secara drastis karena daging impor. Sebab, salah satu hal yang membuat peternak lokal tetap mau beternak sapi adalah karena harga yang terbentuk di pasar saat ini sesuai dengan ongkos produksinya,” jelasnya.

Sementara itu, ketika dimintai keterangan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita belum memberikan respons.

Adapun, berdasarkan data Kementerian Pertanian kebutuhan impor daging sapi pada tahun ini mencapai 256.000 ton.  Pasalnya, produksi daging sapi domestik pada tahun ini diperkirakan hanya akan menembus 429.000 ton. Sementarai itu, konsumsi daging sapi secara nasional diprediksi mencapai  686.000 ton.

Narasumber : ekonomi.bisnis.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *