Atas dasar tersebut, Phibro Animal Health Indonesia (Phibro) menyelenggarakan Phibro Technical Webinar bertemakan ‘Evolution Technology: Maximizing Performance Through Hatchery Vaccination” melalui aplikasi Zoom, Rabu (23/6). Kegiatan tersebut sekaligus memperkenalkan serangkaian produk vaksin Phivax ChickPak sebagai solusi cerdas dalam vaksinasi di hatchery.
Dalam sambutannya, Arik Farzeli, DVM selaku Country Head Phibro Animal Health Indonesia menyampaikan terima kasih kepada PT SHS International Indonesia selaku distributor resmi produk Phibro di Indonesia yang telah membantu terselenggaranya kegiatan seminar daring ini.
“Pada bulan Maret lalu, kami baru saja meluncurkan vaksin Phivax MB-1 untuk kontrol penyakit Gumboro di Indonesia dan pada hari ini kita akan menambah lagi informasi terbaru dan menambah ilmu mengenai memaksimalkan performa unggas melalui vaksinasi hatchery bersama Bapak Tony Unandar dan Bapak Setia Hadi, DVM,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, drh. Litha Lubis selaku Group Product Manager PT SHS International mengatakan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat memberikan kepercayaan dan manfaat untuk mulai memikirkan penggunaan vaksinasi di hatchery.
Vaksinasi di hatchery
Dewasa ini, program vaksinasi yang dilakukan memiliki potensi yang efektif bila diberikan mulai dari di hatchery. Para peternak diharapkan dapat mengetahui mekanisme kerja dari vaksinasi
hatchery. Tony Unandar selaku Private Poultry Farm Consultant di Indonesia memberikan informasi secara gamblang mengenai “Viral Hatchery Vaccination Potential Mechanisms and Limitations” pada Phibro Technical Webinar ini.
“Kita perlu mengetahui mekanisme kerja vaksin yang diberikan di hatchery dan teknologi yang telah dikembangkan oleh para peneliti. Setiap teknologi memiliki keterbatasannya, maka dari itu kita perlu memahami keterbatasan-keterbatasan yang ada beserta resikonya di lapangan, adanya teknologi vaksin baru dapat menekan muncul kasus di lapangan,” ungkap Tony.
Program vaksinasi sudah banyak dilakukan pada industri ayam pedaging (broiler) seperti yang diketahui bahwa terdapat tiga teknik pengaplikasian vaksin yang dilakukan yakni vaksinasi in ovo, vaksinasi spray, dan vaksinasi subkutan. Sedangkan pada industri ayam petelur (layer) masih menggunakan dua teknik vaksinasi yakni vaksinasi spray dan vaksinasi subkutan.
Pada proses vaksinasi in ovo, Tony menjelaskan bahwa vaksinasi ini merupakan proses penyuntikan vaksin ke dalam telur pada bagian embrio umur 18 – 18,5 hari masa inkubasi melalui infra amniotik dan bila diberikan pada intrasel biasanya pada umur 13 – 15 hari. Vaksinasi in ovo biasanya menggunakan vaksin live atau live-attenuated. “Dalam vaksinasi In ovo ini bisa juga diberikan vaksin imun kompleks, vektor vaksin dan sub unit vaksin. Hampir semua sediaan vaksin dapat diberikan secara in ovo, seperti vaksin live Marek, ND, IB dan IBD kecuali kill vaksin tidak dapat diberikan secara in ovo,” jelas Tony.
Selanjutnya, pada teknik pengaplikasian melalui spray diberikan pada DOC saat pasca hatching. Tony menekankan bahwa pemberian
vaksin pasca hatching sangat krusial. “Pemberian vaksin sebaiknya 4
jam setelah DOC menetas, karena menentukan keberhasilan vaksinasi terhadap respon imun ayam,” tuturnya.
Hari ini inovasi vaksinasi pada broiler sudah luas penggunaannya. Namun, pada kelompok layer atau breeder pemberiannya sebatas pemberian vaksin sedini mungkin atau saat pasca hatching dengan menggunakan teknik spay dan suntik subkutan.
Selanjutnya dalam proses vaksinasi di hatchery dilakukan untuk melihat respons ayam pada tahap dini kehidupannya di lapangan. Terdapat 4 tahapan dalam proses ini yakni, vaksin yang diberikan dengan metode yang ada pada deponya akan memberikan materi bersifat imunogenik yang melewati jaringan limfoid sekunder seperti limpa serta limfoid lainnya yang tersebar di seluruh tubuh ayam.
Kemudian akan bergerak ke organ limfoid primer yaitu timus dan bursa yang akan terjadi innate immunity yang merespons pembentukan local immunity terhadap humoral IgA ataupun cell mediated. Hal tersebut menjadi dasar dalam pemberian vaksin sedini mungkin, agar memproteksi sejak di hatchery.
Perbedaan vaksin hatchery dan kandang
Saat ini sedang dikembangkan pemberian vaksin lengkap yang diberikan secara in ovo dengan kandungan 6 jenis antigen. Hal ini akan mendukung proses vaksinasi hatchery dimasa yang akan datang.
Tony melakukan perbandingan antara vaksinasi di hatchery ataupun di lapangan. “Banyak hal yang dapat tekan bila dilakukan vaksinasi di hatchery yakni tingkat stress, meminimalkan terpapar patogen endemik seperti Marek, Koksidiosis dan IBD, meminimalkan terpapar airborne disease seperti ND, IB dan Ai H9N1,” imbuh Tony.
Selain itu, kinerja innate immunity pada DOC akan optimal pada 8 – 10 jam pertama setelah menetas. Maka dari itu, waktu terbaik pemberian vaksin lebih baik di hatchery. Adanya faktor stres dapat memengaruhi respons pada vaksin. Kemudian para peternak
harus mempertimbangkan hal lain seperti keakuratan pemberian dosis vaksin, penyimpanan vaksin sebelum pengaplikasian, dan ditinjau dari sumber daya manusia atau pertugas di kandang. Banyak terjadi kontaminasi pada vaksin sehingga tidak optimal dan biaya tenaga kerja yang semakin mahal. Maka dari itu, vaksinasi di hatchery semakin dipertimbangkan dalam pelaksanaan vaksinasi ke depannya.
Phivax ChickPak
Pada kesempatan yang sama, Phibro Animal Health Indonesia memperkenalkan rangkaian produk unggulannya yang dapat digunakan pada hatchery. Setia Hadi, DVM selaku Technical Manager Phibro Animal Health Indonesia menyebutkan bahwa dalam vaksinasi sejak di hatchery dengan menggunakan Phivax ChickPak didukung oleh device yang mudah digunakan yakni injektor dan sparyer vaksin.
Kemudian didukung oleh tenaga ahli langsung dari Phibro dan adanya rekan-rekan PT SHS International yang memiliki hatchery specialist, vaksinator, team monitoring dan team post vaskinasi yang akan menindaklanjuti kendala dan informasi lanjutan setelah penggunaan produk dari Phibro Animal Health. Selain itu adanya
Sumber : https://www.poultryindonesia.com/