KEMENTAN DUKUNG KONSEP ONE HEALTH CEGAH RESISTENSI ANTIMIKROBA

Kementerian Pertanian (Kementan) ikut memperingati Pekan Kesadaran Antimikoba Sedunia atau World Antimicrobial Awareness Week (WAAW) yang diselenggarakan pada 18 – 24 November. Ini sekaligus menunjukkan komitmen Kementan dalam mengontrol penggunaan antimikroba atau antibiotik pada hewan ternak khususnya, untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba.

Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo alias SYL menyadari, pihaknya memiliki peran penting dalam mencegah laju resistensi antimikroba. Untuk itu, ia mengatakan Kementan akan bersiaga dan membuka diri untuk mempersiapkan berbagai program, kegiatan, dan penguatan regulasi bersama Kementerian dan Lembaga serta stakeholders terkait.

“Kami akan menyiapkan rencana strategis serta peta jalan dalam upaya memerangi resistensi antimikroba. Kami berharap langkah-langkah ke depan akan lebih kuat dan terpadu dalam kerangka kerja Kesehatan Terpadu atau One Health,” ujar Mentan SYL menyambut Acara Puncak WAAW, Selasa (24/11).

Ia menjelaskan, meningkatnya populasi manusia dan maraknya aktivitas manusia berpengaruh terhadap degradasi lingkungan. Hal ini berdampak pada kompleksitas ancaman kesehatan dan perkembangan epidemiologi penyakit infeksi baru.

Kompleksitas yang ada membuat pendekatan terhadap pengendalian penyakit yang dihadapi saat ini, semakin sulit diselesaikan oleh satu sektor. Maka dari itu, pendekatan konsep One Health menjadi pilihan yang dianggap cukup baik.

“Konsep one health memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan dari disiplin ilmu yang berbeda dapat terlibat dalam proses pemecahan masalah kearah kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan,” paparnya.

Konsep one health ini juga sesuai dengan Instruksi Presiden No 4 tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia, yang juga mengamanatkan pengendalian Resistensi Antimikroba.

Agenda Keamanan Kesehatan Global (GHSA) juga menyebutkan bahwa pentingnya pendekatan multilateral dan multisektoral untuk memperkuat kapasitas global serta negara untuk mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman penyakit-penyakit infeksius, baik yang terjadi secara alamiah, disengaja maupun yang tidak disengaja.

Peran semua pihak dalam konsep one health menjadi penting, lantaran dalam beberapa dekade terakhir, laporan berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi Antimikroba. Namun, di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat.

“Dengan kata lain, pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru,” imbuh Menteri SYL.

Menurutnya, hal ini menyebabkan adanya peningkatan resistensi antimikroba yang kini menjadi isu global dan dipandang sebagai salah satu ancaman serius dunia. Khususnya, bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan, lanjut Menteri SYL, harus dapat dipahami bahwa resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, di samping pembangunan kesehatan hewan.

Terlebih, pada tahun 2016, sebuah laporan global review perkembangan resistensi antimikroba memprediksi resistensi antimikroba ini akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050. Bahkan, tingkat kematian akan mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.

Pengendalian Penggunaan Antimikroba

Prediksi tersebut mungkin terjadi jika saat ini masyarakat internasional tidak memiliki upaya yang konkret dalam pengendalian penggunaan antimikroba. Maka dari itu, Dunia saat ini sedang dalam merealisasikan resolusi global yang diterjemahkan ke dalam Rencana Aksi Global.

Hal ini dalam rangka pengendalian Resistensi Antimikroba yang mengamanatkan agar setiap negara di dunia menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN).

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, Nasrullah mengatakan, langkah-langkah dalam menghadapi bahaya resistensi antimikroba tersebut telah dilakukan oleh pemerintah dengan memberlakukan pengaturan penggunaan antibiotik di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Aturan tersebut tertuang dalam UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada Pasal 22 ayat 4 huruf C melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promoter).

Selain itu, ada juga pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Lalu, ada Permentan No 22 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Serta Permentan No 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida yang melarang penggunaan pestisida menggunakan bahan antibiotik.

Kementan belum lama ini juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian No. 9736 Tahun 2020 tentang perubahan Atas Lampiran III Peraturan Menteri Pertanian No. 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang melarang penggunaan Colistin pada ternak yang produknya dikonsumsi manusia.

“Dari aturan-aturan yang ada diharapkan akan menurunkan penggunaan antimikroba yang digunakan sebagai pencegahan penyakit pada hewan ternak. Ini merupakan sasaran startegis dari RAN di sektor kesehatan hewan,” jelas Nasrullah.

Ia menjelaskan, Kementan memiliki beberapa upaya lain dalam hal pencegahan resistensi antimikroba ini. Di antaranya, akan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang resistensi antimikroba, membangun komitmen pemangku kepentingan dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba di setiap sektor.

Kemudian, berupaya menurunkan prevalensi resistensi antimikroba di setiap sektor, lalu mengembangkan inovasi pencegahan dan tata cara pengobatan infeksi, serta alternatif pengganti antimikroba serta meningkatkan koordinasi dan kolaborasi terpadu dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba.

“Setidaknya kami mempunyai enam tujuan strategis untuk pengendalian resistensi antimikroba ini pada tahun 2020 sampai tahun 2024,” kata Nasrullah.

Ia menerangkan, berdasarkan surveilans yang ada, jika aturan tersebut diterapkan dengan baik, penggunaan antimikroba akan menurun dari 80% menjadi 50% di tahun 2024. Selain itu, peningkatan praktik biosekuriti dan penatalaksanaan penggunaan antibiotik juga meningkat dari 4,4% menjadi 20% di tahun 2024 dengan upaya sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada peternakan ayam petelur.

“Namun, upaya pencegahan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Mengacu pada konsep one helath, maka seluruh pemangku kepentingan terkait harus ikut berperan sebagai bagian dari solusi dalam mengendalikan laju resistensi antimikroba,” tuturnya.

 

Narahubung:

https://ditjenpkh.pertanian.go.id/
Fadjar Sumping Tjatur Rasa
Direktur Kesehatan Hewan
Ditjen PKH, Kementan RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *