Ikan lele terkenal dengan sifat kanibalismenya. Ikan tak bersisik ini tak segan makan sesamanya. Sifat ini menjadi salah satu kendala yang sering dikeluhkan para pembudidaya ikan lele. Apa saja faktor pemicunya dan bagaimana cara mengatasinya?

Foto 1

 

Kecenderungan memakan teman sendiri membuat para pembudidayanya tidak bisa memperoleh untung maksimal. Kerap kali, jumlah ikan yang diperoleh pada saat panen tidak seperti yang diharapkan.

Untuk mengatasi masalah kanibalisme tersebut, redaksi Info Akuakultur mencoba menelusuri informasi dari pembudidaya. Hasilnya, faktor pemicu kanibalisme pada lele terangkum pada tulisan berikut.

Kekurangan pakan

Ketika diwawancara, Adriansyah, pengelola Alifagro, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis lele, mengungkapkan bahwa masalah pakan merupakan pemicu utama kanibalisme pada lele. Menurutnya, jumlah pakan yang tidak memenuhi kebutuhan menyebabkan lele berperilaku agresif dan memangsa temannya sendiri. Oleh karena itu, ia menyarankan agar kebutuhan pakan tercukupi.

 

“Sebagai patokan, kebutuhan pakan dalam sehari adalah 5% dari bobot biomassa ikan. Pemberian pakan tersebut dilakukan tiga kali sehari. Pagi sekitar pukul 09.00—10.00, petang sekitar pukul 06.00, dan terakhir pukul 22.00 malam,” paparnya.

Menurut pengusaha jebolan Universitas Indonesia ini, bobot biomassa lele perlu di-cek setiap 10 hari sekali. Caranya dengan pengambilan sampel. Selanjutnya, ikan ditimbang, lalu dikalikan dengan jumlah populasi total yang ada dalam satu kolam. Kemudian, pakan sebanyak 5% dari total biomassa ikan ditebarkan merata ke seluruh kolam setiap harinya.

Selain itu, Adri berbagi tips dalam menekan perilaku kanibalisme ikan peliharaannya. Secara teratur, ia mengaplikasikan probiotik. Pemberiannya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui pencampuran dengan pelet ikan dan bisa dicampurkan langsung ke dalam air kolam.

Pemberian pakan tambahan selain pelet, misalnya ayam yang mati, tidak mempengaruhi sifat kanibalisme. Namun, ia menekankan, untuk lele berukuran 10 cm, ayam sebaiknya direbus terlebih dahulu. Sementara untuk lele berukuran lebih besar, ayam cukup dibakar saja. Pemberian pakan tambahan ini untuk menyiasati kebutuhan protein ikan yang tinggi. Di samping itu, jika pasokan ayam tidak tersedia, ia biasa menggunakan sosis afkir, yang banyak tersedia.

Ukuran tak seragam

Bambang Wahyono, salah seorang praktisi budidaya lele di Wonosobo, Jawa Tengah, berbagi kiat dan pengalaman menekan kanibalisme lele. Menurutnya, sifat kanibalisme bisa dipicu ukuran tubuh yang tidak seragam. Akibatnya, lele berukuran lebih besar cenderung memangsa temannya yang berukuran lebih kecil. Oleh karena itu, lele yang dipelihara dalam satu kolam diupayakan memiliki ukuran tubuh yang seragam.

 

Menurut Bambang, tebar benih dalam kolam yang sama sebaiknya berasal dari benih berumur sama. Pasalnya, lele berumur sama cenderung memiliki besar tubuh yang hampir sepadan. Meskipun demikian, hal ini tidak menjamin bahwa ukuran ikan akan seragam seterusnya karena berbagai faktor. Sebagian lele tumbuh lebih cepat dari pada yang lainnya. “Untuk itu, kegiatan penyortiran ikan harus dilakukan, paling tidak setiap 2 minggu sekali,” terangnya.

Penyortiran bisa dilakukan dengan menggunakan ember khusus sortir. Dengan demikian, akan didapatkan ukuran ikan yang seragam dalam satu kolam yang sama.

 

Kondisi air kolam

Kondisi air kolam, bening dan keruhnya, bisa mempengaruhi tingkat kanibalisme. Air yang bening membuat jarak pandang lele lebih jauh. Bambang menuturkan, mengurangi jarak pandang ikan bisa menurunkan tingkat kanibalisme pada lele. Caranya dengan membuat air kolam budidaya agak keruh, misalnya dengan menerapkan sistem budidaya bioflok, red water system (sistem mikrobia penyangga atau system budidaya air merah), dan cara lainnya.

“Keruh di sini bukan berarti air tersebut kotor karena banyak mengandung sisa pakan dan kotoran yang tak terurai. Namun, air yang berwarna keruh ini lebih karena kehadiran bakteri atau alga yang menguntungkan bagi pertumbuhan ikan,” jelas Bambang.

Padat tebar tinggi

Padat tebar tinggi tanpa disertai sistem yang mendukung bisa memicu terjadinya kanibalisme pada ikan lele. Dalam kondisi demikian, kompetisi antar-ikan dalam mendapatkan makanan akan sangat tinggi. Begitu pun juga dalam mendapatkan ruang gerak dan kebutuhan lainnya. Tingkat kompetisi yang tinggi mendorong kanibalisme.

Namun, Bambang mengakui, selama sistemnya mendukung, padat tebar tinggi tidak menjadi masalah. Kolamnya sendiri memiliki padat tebar sekitar1.000—1.200 ekor ikan setiap m3. Namun, untuk menyiasati padat tebar yang tinggi, ia mempraktikkan system budidaya air merah (red water system) dengan aplikasi probiotik yang dibuat sendiri dengan gula merah.

Stres lingkungan

Stres lingkungan bisa menjadi pemicu sifat kanibalisme lele. Lele yang stres cenderung bersifat agresif. Jika faktor mendukung, sifat kanibal lele muncul sehingga mereka bisa memangsa temannya sendiri yang berukuran lebih kecil.

Beberapa faktor lingkungan bisa menyebabkan lele mengalami stres, antara lain fluktuasi suhu, lingkungan air yang buruk, serta kurangnya pasokan oksigen. Padat tebar yang terlampau tinggi tanpa dilengkapi sistem yang mendukung bisa menyebabkan penurunan kualitas air, antara lain rendahnya kadar oksigen terlarut. Akibatnya, lele menjadi stres dan mendorong munculnya kanibalisme.

Faktor pemicu stres lainnya adalah lingkungan sekitar kolam budidaya. Idealnya, kolam budidaya dibuat di tempat yang tenang, jauh dari keramaian kendaraan, dan lalu-lalang orang. Kondisi lingkungan yang ramai dan gaduh bias memicu stres lingkungan dan pada akhirnya meningkatkan kanibalisme. (Noerhidajat)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *